Senin, 07 Juni 2010

Misi Israel dalam Konflik Darfur



(Sumber: Yusuf Burhanudin, “Misi Israel dalam Konflik Darfur”, Sabili No. 22 TH. XVI 21 Mei 2009 / 26 Jumadil Awal 1430, hal. 107-111)

Darfur termasuk wilayah terbesar Sudan sebelah barat, dihuni oleh mayoritas Muslim. Darfur, yang berarti Negeri Fur, dinisbatkan kepada ‘Fur’, nama suku yang mendiami wilayah tersebut. Penduduk wilayah seluas setengah juta kilometer persegi yang berbatasan langsung dengan Chad ini, dikenal memiliki kesadaran keagamaan cukup kuat. Selain wilayahnya yang seluas Prancis, Darfur juga menyimpan kekayaan alam berlimpah seperti minyak dan uranium. Inilah daya tarik koloni AS dan Eropa sekaligus ancaman nyata kaum Zionis Israel sehingga mereka terus mengobarkan konflik di wilayah tersebut.

Memang, sebelum tahun 1993, Sudan termasuk negara miskin akibat konflik dan perang saudara. Baru beberapa tahun berikutnya, Sudan memasuki babak reformasi ekonomi yang dirumuskan dalam perogram pembangunan tiga tahunan. Sejak Sudan mengekspor minyak tahun 1999, perekonomian negeri 1001 perang saudara itu mulai menggeliat signifikan. Sekalipun program pemerataan ekonomi dan kesejahteraan belum optimal sepenuhnya dijalankan pemerintah Sudan mengingat luasnya wilayah negara tersebut.

Namun siapa sangka, lambannya pemerataan kesejahteraan justru menjadi pemicu utama beberapa wilayah untuk memisahkan diri dari Khartoum. Satu di antaranya adalah wilayah kaya raya dengan sumber daya alamnya, Darfur. Terlebih ketika Presiden Numeiri tahun 1983 mulai memberlakukan hukum Islam (syariat Islam) di negeri itu, permusuhan dan kebencian AS berikut sekutunya kian menjadi-jadi. Permusuhan ini bagi mereka dinilai sangat strategis karena mendatangkan manfaat ganda, yaitu keuntungan sosial-ekonomis dan politis-ideologis.

Munculnya kelompok-kelompok bersenjata dari dua suku besar di Darfur, yaitu suku Fur dan Zaghawah, jelas tidak terlepas begitu saja dari intrik negara-negara maju. Jaisy Tahrir al-Sudan (The Sudan Liberation Army/SLA) yang dibentuk oleh suku Fur, merupakan suku pribumi dan penduduk asli Darfur. Abdul Wahid Muhammad Nour, pimpinan suku terbesar Fur, adalah sosok sekularis tulen yang setia pada pemerintah Prancis yang baru saja meresmikan cabang SLA di Israel beberapa waktu lalu. Adapun Harakah al-Adl wa al-Musawah (The Justice and Equality Movement/JEM), dibentuk suku Zaghawah yang mendapat sokongan penuh dari Chad. Pucuk komando JEM, Khalil Ibrahim, adalah asuhan Inggris yang terus menggencarkan pemberontakan dengan misi utama pemisahan Darfur dari Khartoum.

Selain campur tangan gerakan salibis di Sudan Selatan, perang saudara di wilayah Darfur sebetulnya berawal dari kesepakatan keliru pemerintah Sudan dengan SPLA (Sudan People’s Liberation Army) pimpinan radikalis Kristen, mendiang Dr. John Garang. Pada Juli 2002, Pemerintah dan SPLA mencapai kesepakatan seputar kekuasaan negara dan agama, serta hak menentukan nasib sendiri bagi Sudan Selatan.

Penetapan hak menentukan nasib sendiri, pembagian kekayaan dan kekuasaan tersebut jelas ancaman strategis dan ideologis bagi Sudan. Dengan diakuinya kesepakatan itu, terbuka pintu lebar bagi provinsi dan daerah-daerah lain untuk menuntut hal yang sama. AS dilansir termasuk pihak yang memprovokasi Sudan Selatan terutama John Garang. AS bahkan menghembuskan otonomi luas itu kepada daerah-daerah lainnya termasuk di wilayah barat Sudan, Darfur.

Adu domba adalah strategi murahan yang digencarkan Barat berikut sekutunya dengan mengolah perang saudara tiada henti. Kepentingan ekonomi dan ideologi telah menyatukan koloni asing di Sudan. Misi ideologis inilah yang menjadikan Israel merasa mendapatkan undangan turut ‘cawe-cawe’ dalam konflik Sudan Selatan, Utara, dan Darfur.

Presiden Sudan, Omar al-Bashir, menuding Israel dan sejumlah negara Barat berada di balik konspirasi yang membakar konflik di Darfur. Menurut Bashir, pendanaan perang dan distribusi persenjataan milisi di Darfur yang memerangi pemerintahan Sudan dilakukan oleh Israel dan sejumlah negara Barat, guna menguasai aset kekayaan yang dimiliki Darfur melalui krisis yang sekarang tengah berkobar.

Terdapat tiga faktor penyebab terjadinya krisis Darfur sehingga sampai pada tingkat eskalasi sekarang. Ketiga faktor itu adalah; Pertama, konflik lawas yang terjadi puluhan tahun di antara suku-suku berkaitan dengan tanah, padang gembalaan, dan sumber air. Sejak Darfur dikuasai Inggris tahun 1916, salah satu kebijakan mereka membangun administrasi pemerintahan Sudan termasuk Darfur dengan dasar pemisahan Selatan-Utara dan kekuasaan didasarkan sukuisme di mana pemimpin suku menjadi penguasa riil.

Pemerintahan kesukuan inilah yang menancapkan paham kesukuan (qaumiyah qabaliyah) sekitar 85 suku di Darfur. Konflik Darfur sendiri dipicu perselisihan antara kelompok petani (Fur, suku Negro pribumi berdarah Afrika), peternak, dan penggembala (Janjaweed, suku Arab pendatang). Di antara masalah terbesarnya adalah sumber air, yang digunakan menjadi isu tentang perbedaan sehingga menimbulkan konflik. Kedua, marginalisasi Darfur oleh pemerintah pusat di Khartoum dan terhambatnya distribusi ekonomi dan kesejahteraan. Ketiga, faktor luar berupa pertarungan pengaruh antara AS dan Eropa yang dimotori Prancis, Inggris, dan Jerman.

Puncak kemarahan Khartoum kepada milisi pemberontak SLA maupun JEM kian menjadi, terutama ketika pemerintah Sudan mengendus eskalasi perlawanan para pemberontak tersebut khususnya JEM di negeri tetangganya, Chad. Para pemberontak ini tengah menyusun kekuatan untuk menyerang Sudan dengan dukungan penuh dari Israel. Menyikapi ancaman itu, Khartoum kini mempersiapkan pasukan militernya untuk menghadapi berbagai kemungkinan yang terjadi.

Juru bicara Menlu Sudan, Ali al-Shadiq, menegaskan, pihaknya tengah mematangkan persiapan pasukan pemerintah guna menghadapi pasukan pemberontak. Al-Shadiq menuding JEM menjalin kerjasama intens dengan Mossad Israel. Menurut Shadiq, kerjasama tersebut dijalin secara terang-terangan terutama saat jubir Israel menegaskan dukungan militer untuk memperkuat barisan pemberontak yang ada di wilayah Chad. Misi utama Israel ini tiada lain agar bisa ikut campur dalam mencaplok pengaruh penguasa lokal di Darfur.

Puncak perebutan pengaruh konflik di timur laut Afrika itu, ditandai terbitnya surat perintah penangkapan (warrant arrest) Jaksa Penuntut Pengadilan Pidana Internasional (International Criminal Court), Louis Moreno-Ocampo. Ocampo menuduh Presiden Sudan, Omar al-Bashir, melakukan genosida dengan menewaskan lebih 300.000 orang tak berdosa. Al-Bashir resmi ditetapkan sebagai tersangka dengan tuduhan Crimes Against Humanity dan War Crimes atas konflik Darfur.

Untung saja keputusan Den Haag Belanda tersebut ditentang pemerintah Sudan, negara-negara Arab, dan Uni Afrika. Dugaan ini semakin melengkapi munculnya asumis bahwa bercokolnya LSM-LSM internasional di Darfur, sebagai agen dan mata-mata asing. Dengan tegas, utusan Uni Afrika, Jean Ping, dalam keonferensi pers di Khartoum, meminta ICC mengkaji keputusannya. “Sudan sedang memadamkan api konflik di Darfur, sedangkan ICC justru menyiram minyak di atas api konflik tersebut,” kata Jean.

Berang dengan skenario ICC, Al-Bashir kemudian mengeluarkan keputusan penting yang cukup mengagetkan dunia internasional. Al-Bashir mengusir semua lembaga bantuan asing yang beroperasi di negaranya dan memberi waktu sampai akhir tahun ini bagi lembaga tersebut untuk segera hengkang dari Sudan. “Keputusan ICC adalah bentuk penjajahan baru, demi mewujudkan berbagai kepentingan negara-negara maju,” ujar al-Bashir.

Menteri Pertahanan Sudan, Abdul Rahim Muhammad Hussein, menegaskan kepada surat kabar Arab Saudi, Okaz, bahwa 24 organisasi Yahudi tengah menyulut konflik di Darfur. “Konflik Darfur disulut oleh 24 organisasi Yahudi yang sangat aktif mengeluarkan pernyataan-pernyataan dan isu holocaust bagian dari kampanye mereka,” kata Hussein.

Jelaslah bagaimana pengaruh hegemoni Barat khususnya AS, Eropa, juga Israel dalam konflik tiada henti di Darfur. Sebagai negara kapitalis, tujuan utama mereka mendulang konflik di Darfur adalah untuk merampok kekayaan Sudan. Norm Dixon, kolumnis Australia, pernah menulis, “Laba minyak berada di balik air mata Barat untuk Darfur.”



Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

Partner Blog

www.kutukutubuku.com